RSS

Harold Crick "Stranger than Fiction" : Normally than Anyone

Nonton TV kabel semalam bikin aku pengen menulis sesuatu tentang Harold Crick. "Stranger Than Fiction", menurutku sih lebih ke komedi tragedi ketimbang drama itu sendiri.

Harold Crick menghitung jumlah gerakannya sebanyak 23 kali saat menggosok gigi setiap hari, menghitung jumlah anak tangga yang dia naiki, menikmati suara berkas-berkas audit pajaknya dan mengganggapnya sebagai suara ombak samudera yang terdalam, menghitung persentase jumlah sabun cair yang ada di toilet pria, mengkalkulasi dengan tepat perkalian yang diajukan oleh rekan kerjanya, bahkan menepati tiap menit jadwal yang ditetapkan oleh jam tangannya.



Dia makan sendiri, pulang sendiri, tidur sendiri, berangkat sendiri, kerja sendiri dan semuanya serba sendiri selama 22 tahun.

Sayangnya, jadwal itu tidak lagi bersifat tetap akibat suara narasi seorang cewek berlogat British yang mendikte semua gerakan dan tiap jengkal langkahnya, termasuk kisah cintanya dengan Anna Pascal.

Aneh, karena novelis Eiffel, yang menderita writer's block, meminta semua tokoh utama dalam novelnya diharuskan untuk mati dan sekarang giliran Harold Crick.

Hingga akhirnya Harold Crick menemui seorang Profesor khusus literatur sastra yang membuat jurnal soal "Dia tidak tahu" *dalam bahasa sastra Inggris*.
Sekian lama akhirnya berhasillah Harold Crick menemui Eiffel berkat bantuan sang Profesor dan memintanya untuk tidak melakukan "pembunuhan" terhadapnya.

Harold Crick tidak berani untuk membaca kisah akhir hidupnya yang ditulis novelis itu karena bagaimana pun nggak ada satu orang pun di dunia ini yang berani membaca bagaimana akhir kematiannya nanti. Maka, minta tolonglah ia pada si Profesor yang dengan lantangnya meminta Harold Crick untuk menerima kenyataan bahwa dia harus mati, atau novel karya Eiffel akan menjadi buruk bukan menjadi masterpiece.

Hebatnya, Harold akhirnya menerima dengan lapang dada, tetap mengerjakan tugas-tugas auditnya dan merasa lebih hidup dengan cinta yang diterima dari Anna Pascal di malam kematiannya.


Film ini berakhir dengan tragis dan hal yang paling menyentuhku adalah saat Eiffel menyatakan pada Profesor itu bahwa bukankah alasan seseorang yang seharusnya dibiarkan hidup adalah seseorang yang secara sukarela membiarkannya dibunuh oleh orang lain dan tetap semangat dalam menjalani hidupnya yang terakhir.

Bukankah Harold Crick sebenarnya adalah kita? Yang selalu menghitung tiap "langkah" kita, merencanakan setiap jengkalnya, merasakan segala sesuatunya dan menyesap semuanya hingga habis, sampai kita sendiri tidak tahu lagi apa kenikmatan, kebahagiaan dan kemurnian itu sendiri. Eiffel bertindak seakan-akan dia adalah tuhan yang mampu menggerakkan kehidupan manusia hingga menemui ajalnya.
Benarkah kita akan berhasil dalam hidup saat kita memperhitungkan segalanya dengan tepat, dengan kemampuan yang hebat, dan perhitungan yang pas?
Bukankah kita selalu protes saat Tuhan berkata "tidak"?
Pertanyaanku yang terakhir, sehebat apakah prediksi kita terhadap masa depan kita sendiri?

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar: