RSS

Teori Brain Drain = Hilangnya Cendekiawan Indonesia

Beberapa minggu terakhir ini milis beasiswa dihiasi 'kekayaan' wacana teori Brain Drain gara-gara ada salah satu orang pandai yang pengen jadi warga negara Kanada. Namun sesungguhnya lebih besar dari itu. Nggak perlu menyalahkan siapa yang nasionalis dan siapa yang nggak, tapi kurasa bagus juga tulisan yang udah dia buat di email sebagai penyemangat kita membangun bangsa sendiri.
Ini dia tulisannya.....

By. Anggiet Arifianto

Teori brain drain memang ada benarnya. Secara kasat mata negara seperti
Australia dan Kanada memperoleh tambahan devisa yang sangat besar dari
menerima migran resmi seperti saya. Seorang calon migran membayar lebih dari
2000$ dan menginvestasikan minimal 10000$ yang tentunya diambil dari aset
mereka di negara asal. Hampir tidak mungkin seorang migran tidak
berpendidikan yang artinya dia punya posisi cukup penting di negaranya.
Ambil contoh saya seorang dosen dan staf LSM spesifikasi bidang konflik dan
bencana. Kepergian saya jelas merugikan institusi tempat saya mengajar dan
saya tahu saya bisa memberi kontribusi cukup besar untuk industri dan bisnis
konflik dan bencana di Indonesia (tolong berhenti berpikir bahwa bidang LSM
adalah bidang sosial tanpa pamrih, karena pada kenyataannya itu adalah
bisnis bernilai jutaan dolar).

Tapi apakah Indonesia tidak memperoleh keuntungan ketika saya di luar
negeri? Dalam kurun waktu 8 tahun saya tinggal di luar negeri, saya pernah
jadi guru tari di KBRI Melbourne, Phnom Penh dan Madrid, pernah
mempromosikan kesenian Indonesia di lebih dari 12 negara. Selama 3 tahun
saya di Melbourne saya sudah melakukan lebih dari 300 workshop kesenian
Indonesia (meliputi memperkenalkan angkllung, gamelan, wayang, seni
membatik, tarian tradisional, bahasa, kehidupan agrikultur dst) ke ratusan
sekolah di negara bagian NSW dan Victoria), sehingga anak2 Australia tahu
bahwa Indonesia is not just Bali. Ketika saya melakukan riset bersama Ford
Foundation di Cina, koran dan televisi Cina mewawancara saya dan mereka
sangat heran karena ada orang Indonesia totok fasih berbahasa Cina. Akhirnya
nama Indonesianya kog yang dikenal orang karena bolak-balik dikenali orang
'oh kamu khan orang Indonesia yang bikin penelitian itu khan?' Jadi kalau
ada orang mengatakan membangun dan mengharumkan nama Indonesia tidak bisa
dari luar, saya akan katakan, siapa bilang? Tolong anda mensurvey dahulu
sebelum berucap.

Apakah nasionalisme seseorang merosot ketika tinggal di luar negeri? ya dan
tidak. Banyak orang Indonesia keluar dari Indonesia karena frustrasi dan
kecewa dengan Indonesia dan itu tidak bisa disalahkan. Semakin sering saya
keluar negeri semakin saya anti pemerintah Indonesia dan menyadari betapa
brengseknya pemerintah kita, maka sejak dulu saya berikrar tidak akan pernah
menjadi wakil pemerintah dalam ajang apapun, tetapi itu tidak berarti saya
tidak punya nasionalisme karena kemanapun saya pergi, saya membawa budaya
saya. Separuh isi koper saya adalah baju tari yang selalu ikut kemanapun
saya pergi. Makanya saya tidak pernah mencat rambut, pakai kontak lens warna
biru, pakai dasipun tidak, karena pakaian resmi saya adalah batik.
Pemerintah mau berbuat apa, itu bukan urusan saya, yang menjadi beban saya
adalah mempertahankan eksistensi seni pertunjukan Indonesia dan perbaikan
kualitas pendidikan anak bangsa. Itulah kenapa meski sering di caci maki di
milis ini saya tetap sering menulis email karena saya tau milis ini banyak
diakses oleh mereka yang berpendidikan yang harusnya menjadi soko guru
tatanan berbangsa.

Soal brain drain dan brain gain, mari kita belajar dari Cina dan India. Sama
seperti Indonesia, India pernah galau karena banyak sekali warga negara
berpendidikannya yang keluar negeri, padahal secara kasat mata mereka lebih
miskin dari Indonesia (tapi mereka tidak punya hutang luar negeri lho). Tapi
India mengakui bahwa dengan kenyataan bahwa 60% dokter di Kanada dan Amerika
dan sebagian besar orang IT di Australia adalah keturunan India, hal ini
sangat memicu berkembangnya ilmu medis di negaranya (harap dicatat
bahwa jarang sekali orang India mengikuti ujian penyetaraan medical di
Amerika tidak lulus). Filipina pun maju dengan mengadopsi standar
internasional untuk pendidikan keperawatan sehingga perawat2 Filipina
diterima di seluruh dunia.

Cina sendiri sangat bangga dengan kenyataan bahwa dua orang walikota
Australia (mungkin sekarang sudah ganti) adalah orang Cina (mereka tidak
bilang warga negara Aussie lho, dibilang orang Cina karena lahir di Cina).
Cina malah mendukung warga negaranya untuk expansi keluar, menetap di luar
karena masyarakat CIna punya 'sense of business' yang kuat sehingga ketika
mereka berada di luar mereka akan mencari jalan untuk mengembangkan bisnis
dengan kerabatnya di Cina daratan. Perginya warga Cina artinya juga
mengurangi beban pemerintah untuk mengurus para manula karena aturan
keimigrasian biasanya mengijinkan imigran untuk membawa orang tua mereka.

Ketika saya masih aktif mensurvey program2 LSM tempat saya kerja dulu di
lapangan, yg menjadi kendala untuk peningkatan ekonomi masyarakat kecil
adalah distribusi dan pemasaran. Indonesia tidak punya link yang kuat di
luar negeri sehingga produk kita tidak bisa berkibar di pasaran
internasional. Usaha garmen India, periasan emas dan industri film
Bollywoodnya tidak akan maju kalau tidak ada migran2 mereka di negara asing.
Siapa penguasa garmen dan pertelevisian Indonesia? Bahkan sampai ke Afrika
Selatan, Ethiopia, Qatar dan Uganda, bisnis garmen dan perhiasan sangat
dikuasai masyarakat India. Keberadaan migran di luar negeri juga membuka
bisnis makanan, makanya kemanapun kita pergi (sampai saya pernah ke kota
kecil di pelosok Luxembourg) itu ada restoran Cina. Sama halnya dengan India
dan belakangan ini juga diikuti oleh Jepang dan Korea.

Apakah nasionalisme para migran ini rendah? Nyatanya tidak. Kemanapun kita
pergi akan bertemu orang India mengenakan sari. Ini yang membedakan India
dan Indonesia. Kolonial Inggris mengajarkan masyarakat India untuk bangga
dengan budaya mereka sendiri tetapi kolonial Belanda tidak. Saya sudah
mengamati bahwa nasionalisme masyarakat yang jauh dari kampung halamannya
itu biasanya lebih tinggi,kepedulian mereka terhadap kebudayaan etnisnya
juga lebih tinggi. Itulah kenapa saya justru tidak pernah pentas tari di
Indonesia, karena tidak ada yang nonton, sedangkan semua pagelaran tari saya
di luar negeri selalu sukses besar (padahal yang nonton sama-sama orang
Indonesia). Ketika saya di Belanda banyak bertemu dengan masyarakat
keturunan Ambon yang lari dari Indonesia pasca RMS, dan di Cina dengan
masyarakat keturunan CIna yang pulang ke Tiongkok pasca PKI. Mereka dan
keturunannya (yang tidak pernah menjejakkan kaki di Indonesia) kebanyakan
tetap mengidentifikasikan diri sebagai orang Indonesia, tetap punya hasrat
untuk bisa pulang. Kalau masyarakat yang pernah disakiti dan dibuang oleh
Indonesia masih punya rasa nasionalisme, kenapa orang-orang yang mau migrasi
masih dicerca tidak nasionalis?

Saya punya kepercayaan, ketika seorang Asia meninggalkan kampung halaman dan
negeri, dia tidak akan pernah memutuskan ikatan batinnya dengan tanah
kelahirannya (duh saya nulisnya sampai nangis nich). Masyarakat Asia punya
rasa persaudaraan dan keterikatan kekeluargaan yang sangat tinggi dan
struktur masyarakatnya menganut social security network. Semua orang Asia
berada dalam suatu 'kutuk' bahwa mereka terbeban untuk mendukung
keluarganya. Sehingga kemanapun mereka pergi, mereka akan mengirimkan uang
kembali ke tanah airnya, berusaha meningkatkan kesejahteraan kelluarga
besarnya dst. Sedurhaka apapun orang Asia saya yakin akan berusaha menolong
saudaranya. Ada saudara saya yang tinggal di spanyol akhirnya berhasil
membuka usaha expor impor mebel menghidupi lebih dari 20 keluarga,
meningkatkan bisnis keluarga dst.

Pemerintah kita sering mengeluh derasnya arus westernisasi di Indonesia
melalu film, MTV dst. Padahal Asia adalah etnis terbesar di dunia (yang
sayangnya juga menyumbang jumlah masyarakat miskin terbesar juga). Ada tiga
kekuatan besar di Asia: Cina, India dan Indonesia yang dikenal dengan Naga
dari timur, gajah dari selatan dan Garuda dari tenggara (yang belakang pasti
belum pada dengar). Cina dan India sebenarnya melakukan Asianisasi dunia.
Implementasi dan ekspansi budaya dapat dilakukan dengan berbagai cara. Suku
Hutu di Rwanda melakukannya dengan pembunuhan masal suku Tutsi, etnis Serbia
melakukan forced pregnancy melalui perkosaan masal terhadap suku Bosnia.
Amerika melakukan westernisasi melalui film, fast food culture, dst. India
dan Cina juga melakukan hal yang sama melalui bantuan para migrannya, dengan
mendirikan restoran, industri dan hiburan asli mereka. Sekarang siapa sich
yang belum pernah makan makanan Cina? di semua kota besar di dunia ada
Chinatown. Budaya minum teh Cina, akkupuntur, beef curry, yoga, taichi
menjadi akrab di masyarakat barat. Ini adalah bagian dari Asianisasi budaya
mereka di barat. Sayangnya Indonesia belum seprogresif India dan Cina,
padahal pencak silat itu sangat diminati, musik gamelan adalah musik
tradisional asia paling diminati di Melbourne (disana ada lebih dari 13
group gamelan lho, sayangnya orang Indonesianya tidak sampai 5 orang), batik
Indonesia dianggap paling tinggi kualitasnya di Kamboja, jauh diatas batik
Malaysia, Singapura dan Vietnam

Naga dari timur dan Gajah dari selatan sekarang sudah menjadi kekuatan yang
dipandang dan ditakuti di barat. Banyak sekali orang Indiia dan Cina bisa
berbahasa Inggris tapi hampir tidak ada orang kulit putih bisa berbahasa
Cina dan Hindi. Hampir seluruh produk yang beredar di barat adalah buatan
Cina. (sampai ada joke, anak2 barat sekarang mengira St Claus yang dermawan
itu sudah pindah dari kutub utara ke Cina, soalnya hadiahnya buatan cina
semua).

Pertanyaan saya sekarang, kapankah sang Garuda dari Asia akan mulai
mengembangkan sayapnya dan mulai terbang? Kog sampai sekarang masih sibuk
mengurusi kutu-kutu di dalam sarangnya?

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

1 komentar:

anna rainsakina said...

saya hanya ingin menanggapi pernyataan bahwa "Masyarakat Asia punya
rasa persaudaraan dan keterikatan kekeluargaan yang sangat tinggi dan
struktur masyarakatnya menganut social security network". ini memang benar koq, dan terbukti pada diriku, aku pernah mengikuti kegiatan dimalaysia selama 2 bulan dimana pesertanya berasal dari negara2 Asia, banyak hal yang didapat dari mereka terutama tentang habbit mereka, pada intinya tidak jauh beda dengan bangsa kita, ternyata kita dapat sharing dengan mereka,mencari solusi bersama,dan sampai sekarang kami masih ada komunikasi,
kalau ditanya "kapan garuda akan mengepakan sayap yang lebar",yang pasti komitmen pada diri qta dan bukan hanya diri kita tapi bangsa ini harus punya komitmen dimanapun mereka berada, komitment untuk memperkenalkan Indonesia terutama budaya dan menyadari manfaat serta peluang yang dapat diperoleh dari mereka sehingga dapat mengepakan sayap garuda dari asia untuk terbang tinggi, harus mau belajar dari negara lain khususnya negara-negara asia yang sudah maju